Oleh
: Niken Wulandari*
Malam itu ketika aku
melihatmu terasa begitu aneh. Ya sebut saja dia R, dia mahasiswa baru di
jurusanku. Entah apa yang aku rasakan sepertinya dia begitu mirip dengan masa
laluku. Bukan hanya aku yang merasa seperti itu tetapi teman dekatku pun juga
merasakan hal yang sama. Mataku tak henti menatap wajahnya yag begitu indah
hingga setiap malam ku selalu memimpikan wajahnya. Kini setiap ku melihatnya
rasa ini semakin tinggi untuk selalu bersamanya.
Suatu ketika saat dia
memulai percakapannya denganku di salah satu media sosial aku tak kuasa
membendung air mata bahagia ini.
“makasi mbak” katanya
“iya, samasama” jawabku
dengan nada senang
Kami memulai percakapan
dengan begitu hangatnya, hingga sejenak ku melupakan penat dan rasa sakit yang
ada saat itu. Sakit yang digoreskan olehnya yang ku cinta dengan meninggalkanku
bersama wanita lain, iya kini ku mencoba mencari kebahagianku sendiri tanpa ada
dirinya dan akhirnya aku menemukan sosok yang aku cari.
Waktu terus berjalan,
aku dan dia semakin dekat meskipun tanpa ada ikatan, namun setelah ku tau bahwa
aku dan dia tidak seiman haruskan ku mengakhiri ini semuanya? Haruskah ku terus
mencari lelaki sepertinya yang seiman denganku? Tanyaku lirih
Hari berganti minggu,
minggu berganti bulan, setiap percakapan dengannya selalu membuatku nyaman
berada di sampingnya, namun jika ku ingat kembali kami tak seiman apakah bisa
kami terus bersatu tanpa iman yang sama? Diamku penuh Tanya tentang rasa ini,
rasa yang terus tumbuh jika ku terus bersamanya, tetapi aku tak bisa membuang
rasa ini begitu saja.
Pertanyaan yang tak
bisa ku jawab hanya diam dan diam yang ku lakukan, mungkinkah kami bersatu?
Mungkinkah aku dan dia menjadi kita? Tegasku
Aku tak yakin kami bisa
bersama dengan keadaan yang sulit seperti ini, ya keadaan dimana iman kita tak
saling sama. Tuhan memang satu tapi jalan menuju kuasaNya berbeda.
Setiap hari-hariku kini
dihiasi oleh manis dari wajahnya dan suara yang selalu khas selalu diutarakan
kepadaku, membuatku semakin yakin untuk bersama walau iman ini tak sama.
“Mengapa ini terjadi
padaku? Haruskah aku lanjutkan ini ataukah aku harus mengakhiri semuanya
dengannya? Mengapa saat ku mencoba melupakan yang lalu dengang dirinya semakin
ku ingat iman ini yang menghalangi. Tuhan mengapa Engkau mempertemukan kami
jika kami tak akan bersatu? Tanyaku lirih
Aku percaya kuasaMu
paling baik buatku, namun salahkah aku bila aku mengharapkan sosok dia yang
berbeda iman denganku?
Iya, mungkin inilah
takdirnya, takdir dimana aku dan dia tak akan pernah bisa menjadi kita dan
menjadikan ku makmum disetiap sujudnya, begitu pula dengan ku yang selalu
mengharapkan dia untuk menjadi imam dihidup ini disetiap sujudku kelak.
*) Penulis adalah Mahasiswa aktif jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Kanjuruhan Malang